Notification

×

Iklan

Iklan

Anak - Anak Dan Cermin Sifat Dasar Manusia

| Mei 20, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-20T10:31:20Z


Oleh: Yusdi Lastutiyanto*


tegursapanews - anak -anak : Hari itu, kelas baru saja usai. Anak-anak SD yang saya ajar berhamburan ke luar dengan suara tawa yang masih menggema di dinding kelas. Crayon berserakan, bangku-bangku kecil bergeser ke segala arah, dan papan tulis menyisakan jejak cerita hari ini. Saya masih duduk di kursi guru. Diam. Bukan karena lelah, tapi karena hati saya belum ikut pergi. Ia tertinggal di antara suara-suara kecil yang tak sadar sedang menampilkan watak manusia paling dasar.


Sebagai seorang hipnoterapis, saya terbiasa menyelami ingatan dan keyakinan terdalam orang-orang dewasa, tempat luka mengendap dan bertumbuh menjadi pola hidup. Tapi pagi ini, justru dari anak-anak, saya belajar satu hal yang kembali membuat saya berpikir yaitu tentang pola. Tentang bagaimana manusia, bahkan sejak dini, membentuk kebiasaan untuk bertahan.


Ada satu anak yang selalu duduk di pojok kelas, enggan bertatapan mata lama. Ada satu lagi yang selalu ingin duduk dekat saya, seolah ingin memastikan bahwa ia terlihat. Dan ada yang tak sabar mengangkat tangan, menjawab apa pun, karena mungkin di rumah tak ada yang mendengarnya.


Saya teringat pelajaran dalam _The Science of Human Nature_, bahwa manusia mencari rasa aman, pengakuan, dan validasi. Itulah fondasi perilaku. Kita mengulang pola karena di sanalah kita merasa dikendalikan oleh sesuatu yang terasa pasti, meski tak selalu benar.


Namun saya juga tahu, ketika rasa aman itu tidak terpenuhi, ketika pengakuan dan validasi tak pernah datang, maka manusia mulai membentuk benteng. Ego perlahan tumbuh bukan sebagai keangkuhan, tapi sebagai pelindung. Sebagai respons terhadap dunia yang terasa dingin dan menolak.


Orang dewasa yang saya temui di ruang terapi seringkali tak sadar bahwa kemarahan mereka hari ini adalah jeritan anak kecil yang dulu tidak dipeluk. Perfeksionisme mereka adalah cara bertahan dari rasa tidak cukup. Sifat dominan mereka adalah perlindungan dari perasaan tak berdaya yang pernah menghantui masa kecil.


Dan di sinilah saya berdiri, dalam tiga peran yang menyatu: sebagai guru, saya melihat benihnya; sebagai hipnoterapis, saya menyusuri akarnya; dan sebagai mahasiswa Psikologi, saya merangkainya dalam pemahaman teoretis yang utuh. Semuanya saling melengkapi.


Sore itu, sebelum saya meninggalkan kelas, saya kembali menatap bangku-bangku kecil itu. Ada keheningan yang dalam, bukan karena ruang itu kosong, tapi karena saya tahu: di sinilah perjalanan manusia bermula. Di antara crayon, gerak, interaksi, tawa, dan pola-pola kecil yang suatu hari bisa berubah menjadi luka atau kekuatan, tergantung bagaimana dunia menjawab kebutuhan paling mendasar mereka.


Dan saya pun belajar sekali lagi: memahami manusia bukan hanya soal bertanya “mengapa dia begitu?”, tapi berani melihat jauh ke dalam dan bertanya, “apa yang dulu tidak dia dapatkan?”, sehingga saat dewasa seseorang bisa memiliki pola dan perilaku tertentu.


Mungkin buat sebagian orang ini adalah cerita biasa, tapi untuk orang tipe pemikir dan senang belajar seperti saya, memahami bahwa mengapa ada orang dewasa sulit berubah, bisa jadi karena mereka nyaman dengan rasa aman yang tidak mau mereka tinggalkan, dan mengapa ada sebagian orang nyaman dengan perilaku tertentu, itu bisa jadi mereka bingung bagaimana menerima dan memaafkan luka batin yang pernah singgah di memorinya.





Editor Abdul Chalim

×
Berita Terbaru Update